- Back to Home »
- ILMU KOMUNIKASI »
- PEMIMPIN FORMAL (MADURA)
Posted by : Ulul Albab LM Putra
Thursday, April 17, 2014
1.
DEFINISI PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN
Pimpin artinya Bimbing, Tuntun. Memimpin artinya ‘membimbing,
menuntun dan menunjukan. Pemimpin atau leader ; ialah orang yang memimpin atau
seseorang yang mempergunakan wewenang dan mengarahkan bawahannya untuk
mengerjakan sebagian pekerjaannya dalam mencapai tujuan organisasi atau
institusi.
Beberapa
ahli tentang pemimpin, di antaranya :
a. Menurut
Herbert A Simon. Pemimpin adalah seorang yang dapat mempersatukan
orang-orang dalam mengejar suatu tujuan.
b. Menurut
Prof Dr H Arifin Abdurrahman. Pemimpin adalah orang yang dapat
menggerakkan orang-orang yang ada di sekelilingnya untuk mengikuti jejak
pemimpin itu.
Kepemimpinan adalah kata benda dari pemimpin.
kepemimpinan memiliki beberapa pengertian, di antaranya :
a. Cara
seorang pemimpin mempengaruhi prilaku bawahannya agar mau bekerjasama dan
bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi.
b. Seni
untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, kemampuan untuk membimbing orang-orang
yang ada di sekelilingnya.
c. Seni
untuk mengkoordinasikan dan memberi motivasi kepada individu dan kelompok guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dan sukses tidaknya seorang pemimpin
melaksanakan tugas kepemimpinannya, tidak terutama ditentukan oleh tingkat
keterampilan tehnis (technical skills) yang dimiliknya, akan tetapi
lebih banyak ditentukan oleh keahliannya menggerakkan orang lain untuk bekerja
dengan baik (managerial skills).Dalam hubungan ini perlu ditekankan bahwa
seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang tidak melaksanakan sendiri
tindakan-tindakan yang bersifat operasional, tetapi mengambii keputusan,
menentukan kebijaksanaan dan menggerakan orang lain untuk melaksanakan
keputusan yang telah diambil sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan.
Jika demikian halnya, maka setiap orang yang
disebut pemimpin harus selalu berusaha untuk memiliki sebanyak mungkin
sifat-sifat kepemimpinan yang baik, karena seorang pemimpin tidak seharusnya
dan memang tidak pemah beroperasi dalam suasana vakum. Artinya, kepemimpinan di
dalam suatu organisasi hanya efektif jika kepemimpinan itu diterima oleh orang
lain yang disebut bawahan.
Perbedaan Pemimpin
Formal dan Pemimpin Informal
Kepemimpinan
meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi
perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki
kelompok dan budayanya. Leadership is the activity of influencing exercised to
strives willingly for group objective (George R. Terry;1977). Jadi dengan kata
lain Kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan yang dimiliki seseorang. Dapat
dijabarkan bahwasannya perbedaan antara Kepemimpinan Formal dan Kepemimpinan
Non Formal :
a. Kepemimpinan
Formal adalah Jabatan yang dimiliki seseorang dalam kemampuannya meliputi
proses mempengauhi orang lain dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi
perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki
kelompok dan budayanya. Dimana Kepemimpinan Formal dalam jabatannya diperoleh
dari suatu usaha tertentu dalam pencapaiannya.
b. Kepemimpinan
Non Formal (Informal) adalah Jabatan yang dimiliki seseorang dalam kemampuannya
meliputi proses mempengauhi orang lain dalam menentukan tujuan tertentu,
memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya. Dimana Kepemimpinan Non Formal dalam
jabatannya diperoleh tanpa suatu usaha tertentu dalam pencapaiannya.
2.
CIRI-CIRI PEMIMPIN FORMAL
Pemimpin Formal :
1.
Berstatus sebagai pemimpin selama masa
bakti/jabatan tertentu, atas dasara legalitas formal oleh penunjukan pihak yang
berwenang (ada legitimasi).
2.
Sebelum pengangkatannya, dia harus memenuhi
beberapa persyaratan formal terlebih dahulu.
3. Ia diberi dukungan oleh organisasi formal
untuk menjalankan tugas kewajibannya. Karena itu dia selalu memiliki
atasan/superiors.
4. Dia mendapatkan balas jasa materiil dan
immaterial tertentu, serta emolument (keuntungan ekstra, penghasilan sampingan)
lainnya.
5.
Dia bias mencapai promosi atau kenaikan
pangkat formal, dan dapat dimutasikan.
6.
Apabila dia melakukan kesalahan-kesalahan, dia
akan dikenai sanksi dan hukuman.
7. Selama dia menjabat kepemimpinan, dia diberi
kekuasaan dan wewenang antara lain untuk : menetapkan sasaran organisasi dan
mengambil keputusan-keputusan penting lainnya.
3. PEMIMPIN DI MADURA
Model Pemimpin madura saling terintegrasi, pemimpin
formal terintegrasi dengan pemimpin nonformal. Korelasinya saling berhubungan
dan tidak dapat dipisahkan. Karena secara kasat mata, pemimpin formal di madura
hamper seluruhnya juga merupakan pemimpin nonformal di madura. seperti
a. Kiyai
Seperti
kita tahu, penduduk Madura mayoritas memeluk Islam. Kenyataan ini kemudian
menempatkan tokoh agama (kiai) pada posisi yang sangat penting dan sentral di
tengah masyarakat. Bahkan, bagi masyarakat Madura, kiai dipandang tidak hanya
sebagai subyek yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga sebagai subyek
yang mempunyai kekuatan linuwih. Itu sebabnya, ia juga berperan sebagai tabib,
yang dimintai mantra atau jimat dalam segala urusan dan tempat belajar ilmu
kanuragan.
Kiai membangun relasi kuasa melalui proses kultural, yaitu melakukan
islamisasi. Beragam media kultural mereka ciptakan untuk membangun kesadaran
keagamaan umat, misalnya, membangun langgar, pondok pesantren, dan sekolah
agama. Di sini awalnya kiai melakukan transfer pengetahuan keagamaan, tetapi
pada ujungnya menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemoni dalam mengonstruk
bangunan kognitif dan tindakan sosial masyarakat.
Peran
kiai di Madura sebagai pemimpin agama sangat dekat dengan hal-hal yang bersifat
politik. Hal ini tidak dapat dielakkan karena kiai memiliki massa yang besar
dan dengan sangat mudah menggerakkan massa (ummat) tersebut untuk kepentingan
politik. Sementara sebagian massa tersebut adalah santri atau keluarga santri,
atau mereka yang memiliki hubungan secara emosional keagamaan dengan kiai. Dari
kekuatan tersebut kiai memiliki peran yang kuat dan berbeda dibandingkan
masyarakat pada umumnya.
Agama dan Politik:Kiai Sebagai
Sentral
Pemimpin
kegamaan di Madura terdiri dari tiga kelompok, yaitu;santri, kyai dan haji.
Murid yang menuntut ilmu disebut santri, guru agama yang mengajari santri
disebut kyai, dan mereka yang kembali dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan
Madinah disebut haji. Ketiga kelompok tersebut berperan sebagai pemimpin
keagamaan di Masjid, Musholla, acara ritual keagamaan dan acara seremonial
lain, dimana mereka berperan sebagai pemimpinnya. Diantara ketiganya, kyai
merupakan tokoh yang paling berpengaruh, dan oleh Kuntowijoyo, kyai Madura
disebut dengan elit desa.
Pengetahuan
yang mendalam tentang Islam menjadikan mereka paling terdidik di desa. Beberapa
kiai selain tetap menyampaikan keahliannya soal-soal agama, juga dapat
meramalkan nasib, menyembuhkan orang sakit dan mengajar olah kanuragan. Kyai
Madura dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis;guru ngaji, yang mengajarkan
al-Qur’an, guru ngaji kitab yang mengajarkan berbagai jenis ilmu agama, dan
guru tarekat yang disebut juga pemimpin tarekat.
Peranan
kiai di Madura sangat penting, dan orientasi masyarakat Madura adalah kiai, tidak
pada kepemimpinan birokrasi. Pandangan ini yang kemudian dimaknai “kegagalan”
integrasi politik dan ekonomi Madura dalam sistem nasional, sebagaimana
ditunjukkan oleh tipisnya pengaruh partai pemerintah dalam beberapa kali
Pemilu. Dalam penelitian Towen-Bouswsma (1988) dan Joordan (1985) disimpulkan,
bahwa terdapat indikasi yang sangat kuat adanya “kegagalan” pemerintah dalam
mengintegrasikan sistem politik dan ekonomi yang bersifat nasional dalam
kehidupan masyarakat Madura.
Pandangan
kedua peneliti tersebut dibantah oleh Kuntowijoyo yang menyatakan, bahwa
kuatnya pengaruh kiai di tengah masyarakat Madura karena faktor ekologi dan
sistem sosial. Ekologi tegalan hingga sekarang masih dominan. Apa yang dikenal
dengan “Revolusi Hijau” dan “Revolusi Biru” di bidang pertanian tidak mampu
merubah sistem sosial, politik dan kultural Madura. Ekosistem tegal sudah
menjadi satu dengan masyarakat Madura, sehingga sulit untuk memisahkan
pengaruhnya pada organisasi sosial dan sistem simbol masyarakatnya.
Pola ekosistem
tegalan di atas dimaksudkan untuk menujukkan pola pemukiman dan sekaligus
organisasi desa. Di Madura, sama halnya di Jawa, pola pemukiman persawahan
mengelompok pada satu induk (nuclear village) dengan persawahan di sekitar
desa. Akan tetapi, karena jumlah sawah tidak teralu berarti, maka pola
pemukiman semacam itu jarang terjadi. Kebanyakan desa mempunyai pola desa
tersebar (scattered village), dimana perumahan penduduk terpencar dalam
kelompok-kelompok kecil. Untuk mempersatukan desa-desa yang terpencar itu,
perlu ada jenis organisasi sosial lain yang mampu membangunkan solidaritas . Di
sinilah letak pentingnya agama dan kiai di pedesaan Madura.
Karena
desa tidak dipersatukan dalam suasana ekonomi, maka sistem simbol menjadi lebih
kuat. Demikian juga, karena terpencar, perlu ada pengikat yang menjembatani
pemecahan desa. Dalam hal ini agama menjadi “organizing principle” bagi orang
Madura. Pertama, agama memberikan collective sentiment melalui upacara-upacara
ibadah dan ritual serta simbol yang satu. Misalnya, di Madura orang juga
terpaksa membangun Masjid desa untuk melaksanakan ibadah jum’at secara bersama,
karena dalam ketentuan syariat, tidaklah sah shalat jum’at yang tidak dihadiri
40 orang jamaah. Keharusan agamalah yang menjadikan masyarakat Madura menjadi
masyarakat dengan membentuk organisasi sosial, yang didasarkan pada agama dan
pada otoritas kiai. Masyarakat sipil yang dibangun di atas masyarakat desa
hanya menjadi organisasi supradesa yang berada di permukaan, tetapi tidak
mempunyai raison d’etre-nya sendiri.
Sebagaimana
masyarakat patrimonial yang memegang teguh hierarki, posisi kiai sebagai
pemimpim keagamaan dalam masyarakat Madura menjadi sangat kuat. Kekuasaan
sosial terpusat pada tokoh-tokoh yang secara tradisional keberadaannya sangat
dibutuhkan untuk mempersatukan mereka, bukan karena dipaksakan maupun keinginan
para tokohnya. Dalam konteks inilah yang awalnya peran kiai hanya menyempit
dalam area keagamaan kemudian melebar ke kawasan sosial dan bahkan politik.
Selain
itu, pandangan hidup orang Madura antara lain tercermin dalam ungkapan bhuppa’
bhabbu’ ghuru rato. Pandangan ini menyangkut filosofi kepatuhan orang Madura
pada bapak, ibu, guru dan raja (pemimpin formal), yang mereka sebut sebagai
figur-figur utama. Dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard
referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara khirarkikal . Sebagai
aturan normatif yang mengikat kepada semua orang Madura, maka palanggaran atau
paling tidak—melalaikan aturan itu—akan mendapat sangsi sosial secara kultural.
Kepatuhan
kepada guru merupakan aturan yang sangat normatif yang menjadi dasar bagi
setiap makhluk di dunia. Bagaimana dengan kepatuhan kepada guru di Madura? Pada
tataran ini Wiyata lebih menggaris bawahi bahwa tidak semua masyarakat dapat
mematuhi guru sekuat orang Madura. Bagi orang Madura, guru (kiai) merupaka
jaminan masalah moralitas dan masalah-masalah ukhrawi, maka kepatuhan orang
Madura kepada guru didasarkan pada alasan tersebut. Sementara rato dalam
sejarah Madura banyak dipegang oleh para kiai. Dari sinilah filosofi tersebut
sangat kuat dan menjadi penanda identitas kultural orang Madura. Dari sini
dapat dilihat bahwa ketaatan orang Madura pada kiai karena memang filosofi
hidup mereka yang sangat kuat terbentuk sejak dini.
b. Blater
Adapun
struktur ekologis wilayahnya yang tandus dan tidak produktif telah menyebabkan
masyarakatnya mengalami kemiskinan sosial-ekonomi. Di samping memang adanya
pengalaman masyarakat Madura di masa kapitalisme kolonial yang mengalami proses
eksploitasi dan dehumanisasi. Kenyataan ini melahirkan perilaku kriminal di
tengah masyarakat. Di sinilah blater muncul. Dalam konsepsi masyarakat Madura,
blater adalah orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan, dan kekuatan magis
yang (biasanya) mereka digunakan dalam tindak kriminal. Bagi masyarakat Madura
sendiri, ada dua pandangan mengenai sosok blater ini. Ada blater yang
memberikan perlindungan keselamatan secara fisik kepada masyarakat, berperilaku
sopan dan tidak sombong. Namun, ada juga blater yang disebut “bajingan” karena
tidak menjalankan peran sosial yang baik di masyarakat.
Mereka
ditakuti masyarakat karena keberingasan sosialnya. Kelompok itu dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan
antara kiai dengan kelompok blater cenderung bersifat simbiosis, saling
membutuhkan, walaupun fungsi dan peranan sosial mereka antagonistic. Tidak
sedikit, seorang kiai atau haji memiliki latar belakang sosial sebagai blater
sehingga kadang-kadang perangai blater-nya tetap muncul, sekalipun mereka sudah
menyandang symbol-simbol keagamaan Islam tersebut.
Kaum
blater masih dominan di posisi sebagai elite pedesaan, belum merangkak secara
cepat layaknya kiai yang begitu eksis dan tampil dominan sebagai elite
perkotaan. Blater sebagai orang kuat di desa masih tampil cukup dominan. Di
pedesaan, komunitas blater masih memainkan peran sebagai broker keamanan dalam
interaksi ekonomi dan sosial politik. Selain itu, tak sedikit yang bermain di
dua kaki, selain sebagai broker keamanan juga sebagai tokoh formal, yakni
menjadi state apparatus dengan cara menjadi klebun (kepala desa). Di banyak
tempat di pedesaan Madura, tak sedikit klebun desa berasal dari komunitas
blater atau dipegaruhi oleh politik perblateran.
Berbeda
dengan kiai, dalam membangun kekuatan sosial, blater melakukannya melalui praktik-praktik kriminal,
seperti carok, sabung ayam, dan modus pencurian dan perampokan. Blater yang
sudah kembali hidup normal dalam masyarakat biasanya menjadi penengah dan
mediator yang baik dalam menyelesaikan konflik antaranggota masyarakat. Itu
sebabnya, ideologi sosial yang mereka bangun adalah membantu masyarakat. Dua
kekuatan ini, dalam konteks pembentukan karakter masyarakat Madura, perannya
sangat terasa. Tradisi blater, misalnya, telah membentuk karakter masyarakat
Madura yang keras dalam membela harga diri.
c. Perempuan atau Wanita
Madura
Catatan
VOC Daghregister tanggal 15 September 1624 “Orang Madura nyatanya bukan hanya
laki-laki yang ikut berperang, akan tetapi perempuan pun ikut berperang dan
peperangan tersebut tidak kalah dari laki-laki. Apabila ada laiki-laki yang
luka dibagian punggungnya, maka oleh tentara wanita dibunuh sekalian, sebab
dibagian punggung tersebut menunjukkan laki-laki tersebut melarikan diri dari
peperangan yang kemudian dikejar oleh musuh sampai berhasil dilukai. Akan
tetapi lukanya dibagian depan, maka oleh para wanita madura segera di obati,
karena luka yang demikian menunjukkan bahwa luka yang diakibatkan dari
pertempuran yang berhadap-hadapan. “
Dari
penggalan-penggalan kalimat tersebut, memberikan gambaran bagaimana wanita
Madura sangat berperan dalam membantu keberhasilan perjuangan kaum laki-laki.
Disamping itu, para wanita Madura berperan besar dalam membangun karakter kaum
laki-laki Madura sebagai pejuang yang tangguh, pantang menyerah dan berjiwa
kesatria dalam membela kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya.
Nilai-nilai
inilah yang senantiasa diturunkan dari generasi ke generasi dan karakter
tersebut tetap berlanjut dan menjadi bagian integral dalam prinsip-prinsip
hidup masyarakat Madura hingga saat ini.
Dengan
demikian, dapat ditarik suatu garis tegas bahwa peran wanita Madura memiliki
peran setara dengan kaum lelakinya, baik dalam kehidupan sehari-hari, bahkan
dalam peperangan sekalipun. Bahkan dalam konteks-konteks tertentu peran wanita
Madura terlihat sangat keras dan sangat menentukan keberhasilan kaum laki-laki,
tanpa mengesampingkan posisi laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung
kehormatan wanita.
PERGESERAN NILAI PEMIMPIN MADURA
Selain
kiai masih memainkan peran sesuai dengan statusnya sebagai seorang kiai, ia
tidak akan menuai “gugatan” umatnya. Akan tetapi, dalam hal politik praktis,
akhir-akhir ini, ada pergeseran pandangan masyarakat terhadap para kiainya
.Masuknya kiai didalam ranah politik, baik sebagai politisi, maupun sebagai
pejabat politik didaerah, seperti sebagai bupati atau ketua DPRD, sering
mengundang apresiasi negative masyarakat atau umatnya. Tidak ada larangan bagi
sesorang kiai untuk memiliki usaha ekonomi.yang penting,dalam hal ini adalah
kiai itu tidak terlibat langsung dalam kegiatan usaha ekonominya.Dikatakan,di
madura ini para kiai juga banyak yang menanam tembakau. Artinya,kiai itu
bertani. Tetapi,proses penanaman dan kegiatan produksinya itu dilakukan oleh
santri-santrinya atau diperkerjakan/dipercayakan kepada orang
lain.santri-santri tersebut tidak dibayar karena yakin para santri akan
memperoleh barokah kiai.
Jadi,
kyai tidak menanggani kegiatan tersebut secara langsung. Kalau kyai sendiri
yang terjun berdagang atau bertani, hal seperti ini akan tidak dihargai oleh
masyarakat. Sebaliknya, jika urusan bertani dan berdagang diserahkan atau
dipercayakan kepada orang lain, walaupun modal usahanya dari kiai, tidak
berpengaruh apa-apa terhadap martabat kiai. Di Madura ini sulit masyarakat
menerima seorang kiai yang merangkap sebagai petani atau pedagang sebagaimana
layaknya petani atau pedagang yang sesungguhnya.
Ada
satu hal yang membuat pergeseran ini lebih Nampak ekstrim, yaitu jika dulu
pemimpin itu dihormati dan ditati, kali ini pemimpin hanya ditakuti
PROFIL
PEMIMPIN MADURA
R. KH. Fuad Amin
R. KH. Fuad Amin adalah salah satu putera terbaik Kabupaten
Bangkalan yang dilahirkan pada tanggal 1 September 1948. Lingkungan keluarga
dan masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat pesantren merupakan factor
dominan yang membentuk karakternya. Sejak kecil beliau diasuh dengan bimbingan
moral yang luhur, tata krama adiluhung, serta pendidikan pesantren dan keagamaan
yang ketat. Dalam dirinya selalu ditanamkan sikap untuk senantiasa
mencontoh dan mentauladani tokoh tokoh dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
yang dianggap mempunyai karismatik yang patut dijadikan panutan. Hal ini telah
menjadikan R. KH. Fuad Amin sebagai pribadi religius sekeligus suri tauladan
bagi mayarakat Bangkalan.
Meskipun dibesarkan dalam masyarakat pesantren, pendidikan R. KH.
Fuad Amin justru kemudian beliau menempuh pendidikan sarjana sehingga
memperoleh gelar S.Pd di STKIP Bangkalan. Semasa muda, suami dari Siti Masnuri
ini telah menunjukkan bakat kepemimpinannya. Beliau pernah aktif di organisasi
KAMMI (1966-1967). Sebagai ulama R. KH. Fuad Amin dikenal melaui kiprahnya di
bidang kemasyarakatan. Beliau yang pernah dipercaya sebagai wakil ketua Badan
Silaturahmi Ulama Madura (BASRA). Selain itu juga, pengasuh Pondok Pesantren
Syaichona Cholil Bangkalan ini pernah berperan sebagai utusan khusus penanganan
pengungsi Sampit dari Presiden Republik Indonesia pada Tahun 2001.
Selain sebagai ulama R. KH. Fuad Amin, yang merupakan cicit dari
ulama besar Syaichona KH. Moch. Kholil juga dikenal melalui kiprahnya dibidang
Politik. Sebelum terbentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) beliau dikenal
sebagai salah satu tokoh dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan
jabatan terakhir sebagai Ketua DPC PPP Bangkalan periode 1996-1998.
Selanjutnya beliau memutuskan untuk pindah ke PKB dengan jabatan
sebagai wakil ketua DPW PKB Jawa Timur (1998-2001) dan anggota Dewan Syuro DPW
PKB Jawa Timur 2002 dan menjadi ketua dewan Syuro PKB Jawa Timur peiode 2008 –
2013. Dalam perjalanan politiknya R. KH. Fuad Amin berhasil mendapatkan
kepercayaan menyampaikan aspirasi masyarakat Jawa Timur dengan menjadi anggota
DPR-MPR RI (1999-2003), dan kemudian menjadi Bupati Bangkalan Periode 2003-2008
selain itu, pada saat ini Beliau dipercaya sebagai Ketua Umum DPC PKB Bangkalan
Periode 2007-2012.
Selama Kepemimpinan Beliau sebagai Bupati Bangkalan periode
1993-1998, kegiatan pembangunan di Kabupaten Bangkalan berjalan dengan baik dan
maju pesat. Termasuk terciptanya iklim dan suasana daerah yang kondusif bagi
pelaksanaan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Beberapa program
kegiatan pembangunan yang berhasil dilakukan antara lain: mulai dari program-program
pengentasan kemiskinan sampai dengan pembangunan bidang pendidikan dan
kesehatan serta meningkatkan keindahan kota dengan membangun sarana dan
prasarana kota modern seperti: taman-taman kota, lampu-lampu hias, gedung
olahraga, pendopo kabupaten, perbaikan dan peningkatan kualitas jalan-jalan
daerah serta partisipasi yang tinggi dalam pembangunan Jembatan Suramadu pada
sisi Madura terutama pada saat pembebasan tanah yang relatif tidak mendapatkan
masalah yang berarti.
Pada bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana, pada Bulan Juni
2007, Bupati R. KH. Fuad Amin menerima penghargaan “Satya Lencana Wira Karya”
dari Presiden Republik Indonesia, merupakan penghargaan tertinggi dibidang
Program Keluarga Berencana. Besar harapan seluruh masyarakat Kabupaten Bangkalan
kiranya Bupati R. KH. Fuad Amin dalam masa kepemimpinannya di periode ke dua
ini ( 2008 – 2013 ) dapat memimpin Kabupaten Bangkalan menjadi lebih baik lagi.
ReplyDelete1. Bismillahir Rahmanir Rahim.
Salam wa rahmah
Tajuk: Dialog Muslim dll.
Apa salahnya jika kalian membacanya kerana kalian bukan semestinya mengamalkan apa yang kalian tahu!
Dialog Muslim:
https://drive.google.com/file/d/1vBIZzkM_kGGQDGEtLUiYKH5GEMrKabmO/view?usp=drivesdk
Sahabat bukan keluarga Nabi saw:
https://drive.google.com/file/d/1sj7PbSeMVQnbcUGNf9C4PbK2fxNOQWYs/view?usp=drivesdk
Renungan seorang Muslum:
https://drive.google.com/file/d/14UkqCb2Lg8uIB5w4UOiQFWngE6lg8VPY/view?usp=drivesdk
Beberapa Hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim yg disembunyikan:
https://drive.google.com/file/d/1yiHoydNprAnPuJaSfqdLXH-P1KSWbN6X/view?usp=drivesdk
al-Istifa': Pilihan adalah Ahlul Bait as:
https://drive.google.com/file/d/10GQ_ZKrtxKb_EPRYV6DC9KJ9XPu7NDsW/view?usp=drivesdk
Tidak ada paksaan dalam agama
https://drive.google.com/file/d/13HBhtVqb0xD8og-RQZffn2LKuy3MxQfk/view?usp=drivesdk
Terima kasih was Salam.