Archive for February 2015
ZUN-NUN AL-MISRI DAN SEBUAH CINCIN
Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup
seorang sufi yang masyhur bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan
bertanya : “Tuan, saya belum faham mengapa orang seperti anda mesti berpakaian
apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di zaman yang ini berpakaian baik
amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk tujuan banyak hal
lain.”
Sang sufi hanya tersenyum, ia lalu
melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata : “Sahabat muda, akan
kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah
cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Cobalah, bisakah kamu
menjualnya seharga satu keping emas”. Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda
tadi merasa ragu dan berkata : “Satu keping emas ? Saya tidak yakin cincin ini
bisa dijual seharga itu”. “Cobalah dulu sahabat muda. Siapa tahu kamu
berhasil”, jawab Zun-Nun. Pemuda itu pun bergegas ke pasar.
Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain,
pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata,
tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya
hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan
harga satu keping perak.
Ia kembali kepada Zun-Nun dan
memberitahunya : “Tuan, tak seorang pun yang berani menawar lebih dari satu
keping perak”. Sambil tetap tersenyum arif Zun-Nun berkata : “Sekarang pergilah
kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko
atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana ia
memberikan penilaian”.17 Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia
kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain.
Ia kemudian memberitahu : “Tuan,
ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini.
Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin
ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di
pasar”.
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berkata
: “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sahabat muda. Seseorang tak boleh
dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar”
yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”. Emas dan permata yang
ada dalam diri seseorang, hanya dapat dilihat dan dinilai jika kita mampu
melihat ke kedalaman jiwa.
Diperlukan kearifan untuk menjenguknya.
Dan itu perlu proses dan masa, wahai sahabat mudaku. Kita tak dapat menilainya
hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas.
Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai
loyang ternyata emas.” Wallahua''lam...
Thursday, February 12, 2015
Posted by Ulul Albab LM Putra
DASAR ORANG DESA (Study Orang Miskin )
Suatu hari seorang ayah dari keluarga sangat kaya membawa anaknya ke desa untuk menunjukkan kepadanya kehidupan orang-orang miskin. Mereka tinggal beberapa hari di rumah seorang petani miskin. Sekembalinya dari desa, sang ayah bertanya kepada anaknya,” bagaimana menurutmu perjalanan kita ini?”
“Hebat, Ayah,” kata anaknya.
“Apakah kau melihat bagaimana orang-orang miskin itu hidup?”
“Ya.”
“Lalu, pelajaran apa yang dapat kau ambil dari perjalanan itu?” tanya ayahnya dengan bangga.
“Aku baru sadar, bahwa kita punya dua anjing sedang mereka punya empat. Kita punya kolam renang luasnya sampai setengah kebun, sedang mereka punya sungai yang tak memiliki ujung. Kita mengimpor lentera untuk kebun kita, mereka punya bintang-bintang di malam hari. Teras kita sampai halaman depan, sedang mereka seluruh horizon. Kita punya tanah tempat tinggal kecil, mereka punya halaman sejauh mata memandang. Kita punya pembantu-pembantu yang melayani kita, sedang mereka memberikan pelayanan kepada orang lain. Kita membeli makanan kita, mereka memetik sendiri makanan mereka. Kita memiliki pagar mengelilingi dan melindungi kekayaan kita, mereka punya teman yang melindungi mereka.
Sampai di sini, sang ayah tak bisa berkata apa-apa. Kemudian anaknya menambahkan,” Ayah, terima kasih, engkau telah menunjukkan betapa miskinnya kita.”
****
Kita sering kali lupa pada segala yang kita miliki dan memusatkan perhatian hanya pada apa-apa yang tidak kita miliki.
Kisah di atas hanya satu dari sekian banyak kisah dan cerita yang bisa kita petik hikmahnya. Rasullallah pernah bersabda,”Kalimat hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah). Maksudnya, di mana pun orang mukmin menemukan hikmah maka ia berhak menyimpannya. Ali bin Abi Thalib, sahabat nabi yang paling alim pun, berkata,”Ambillah hikmah dari sumber mana pun.”
Buku ini berisikan kumpulan tulisan orang-orang dari negara seberang yang mempunyai kebudayaan dan keyakinan berbeda dengan kebanyakan kita. Namun berdasarkan ayat Quran dan hadis nabi di atas, insya Allah, kita bisa memetik banyak hikmah dari pesan-pesan yang disampaikan oleh penulis lewat kisah-kisah dan ibarat-ibarat mereka yang sederhana tapi bermakna sangat dalam. (Unknown Author)